You Are Reading

0

9 Jam Nonstop dan Pengemis Tua

Unknown Sabtu, 12 Oktober 2013 ,


Pagi ini rencananya saya hunting sesuatu lagi ke RS Jantung. Ada yang tertinggal.Tepat sebelum pergi, saya teringat kejadian beberapa hari yang lalu. Hehe.

Senin, 23 September 2013

Pukul 18:34 WIB, tepat berselang beberapa menit sejak saya mengenang hari ini dari awal terbit mentari. Bagaimana tidak, saat itu saya punya sangat banyak waktu untuk melakukannya. Duduk manis sebagai penumpang tunggal di sebuah angkot membuat pikiran melayang jauh dan hati bergemuruh. Empat rodanya berguling menelusuri sudut kota yang mulai gelap. Sesekali manik kembar ini melemparkan pandangan menembus jendela angkot, kali berikutnya memandang bebas lewat pintunya yang terbuka, dan mungkin hampir setiap detik posisi tubuh yang sudah mulai kewalahan ini tak berhenti berubah. Ya, satu hal besar yang tengah menggerogoti ketenangan saya saat ini.

Apakah dapat pulang dengan selamat?

Sebenarnya dari awal saya juga bingung mau pulang pakai apa. Ceritanya, dari jam 10 pagi sampai jam 18:20 saya berjuangan nonstop di tengah tumpukan kertas di RS Khusus Jantung Sumatera Barat. Pasalnya, saya tengah melakukan penelitian di sana dan mengotak-atik Rekam Medis (RM) pasien untuk menemukan hal yang saya cari. Alhasil, saya tidak sadar kalau belum makan dari pagi hingga malam. Cuma beberapa teguk air bening yang berusaha melegakan dahaga ini. Untung uni yang di RM baik, jadi saya juga rada betah di sana. Setelah selesai, saya melanjutkan misi pergi ke laboratorium RS. Wah, alhamdulillah sekali semua orang di situ menyambut saya dengan baik. Pertanyaan saya mengenai alat ukur glukosa darah di sana dijawab antusias oleh kakak tersebut. Dan TING TONG! Waktu menunjukkan pukul 6 sore. Benar-benar tidak ada jeda, apalagi saya waktu itu lagi halangan, jadinya enggak shalat, akhirnya benar-benar hanyut dalam tugas. Setelah beranjak dari RS, langit gelap menunggu saya. Berdiri menunggu bus kota beberapa menit serasa menunggu ber jam-jam. Akhirnya saya beranikan naik angkot satu-satunya yang lewat setelah lama menunggu.

Jujur, saat naik, saya tidak tau jalur angkot ini kemana. Tapi dalam hati, saya tau bahwa semua angkot di Padang akan bermuara di Pasar Raya, dan setelah itu saya yakin bisa pulang dengan angkot jati (angkot arah kosan). Mulai dari melangkahkan kaki naik kendaraan umum tersebut, doa kepada Sang Penciptapun tak kunjung henti terlontar dari mulut saya yang semakin lama semakin kelu ini. Entah mengapa, saya merasa waktu ini merangkak begitu lambat.

Setelah melewati jalan dengan harap-harap cemas, akhirnya saya sampai di pasar raya. Melepas lelah sebentar dengan duduk di dekat ibu-ibu yang jual minuman. Maunya sih enggak beli, tapi ya segan juga duduk tapi enggak ngapa-ngapain. Akhirnya sebuah pop ice mendarat di tangah saya. Sama sekali tidak berniat meminumnya di tengah pasar, sehingga saat itu juga saya amankan minuman tersebut ke dalam kantong dan berencana segera beranjak.

Namun, satu langkah berlalu, saya dihadang seorang bapak tua. Perhatian saya terambil, mata saya tak bergeming memandangi sosok kumalnya. Sebuah tangah menengadah gemetaran di depan saya. Ya, bapak ini seorang pengemis. Sebenarnya saya jarang juga mengasihani pengemis, entah karena saya punya pengalaman buruk tentang hal itu atau apa, tapi kali ini terasa berbeda. Mata kelelahan yang terpancar dari bapak itu, rambut yang awut-awutan, sebuah tongkat dekil yang tetap dipegangnya. Ah, saya seperti tersihir untuk memberikan sesuatu. Saya raup selembar kertas dari dompet dan memberikan kepada sang bapak. Sengaja saya lipat kertas tersebut agar tak terlalu tampak mencolok. Namun sang bapak malah tertegun dan memperhatikan kertas itu sambil membuka lipatan yang saya buat. Saya lihat samar dari ekspresi wajah beliau, bapak tua itu 'kaget'. Dan secepat itu pula beliau menatap saya seolah bertanya 'apa benar ini mau dikasih ke saya?'. Saya mengangguk sambil tersenyum. Lantas bapak itu menangis. Dan untuk beberapa menit dia tak berhenti berucap syukur pada yang Kuasa dan mendoakan saya. Sempat juga beliau bercerita bahwa kepalanya barusan terbentur dan dia menanyakan dengan bahasa yang susah saya mengerti karena sudah tak jelas. Namun saya menangkap, beliau bertanya apakah kepalanya berdarah atau tidak. Saat saya lihat, ternyata lembam, baru. Ya Allah, apa yang terjadi dengan bapak itu. Setelah beliau mengucapkan terima kasih untuk kesekian kalinya, barulah kakinya beranjak menjauhi saya.

Saya masih memperhatikan beliau dari jauh. Dan sesosok bayangan langsung terlintas jelas di pikiran saya, yaitu Uan. Kira-kira Uan saya seumuran bapak itu. Kaki beliau yang terlihat kaku sebelah juga mengingatkan saya pada Uan setelah beliau terkena stroke. Ah, tiba-tiba air mata mengalir membasahi pipi saya saat terfikir 'bagaimana kalau Uan yang mengalami kejadian seperti ini dan seperti bapak tua itu?'. Dan sekali lagi saya tidak sanggup membendung perasaan sedih tersebut di tengah pasar. Saya tidak kuat membayangankan lebih lanjut mengenai apa yang terjadi pada beliau. Langsung sebuah doa saya kirimkan pada Uan, semoga amal beliau diterima di sisiNya.

Kesedihan ini merenggut perasaan saya.

Tak peduli apa yang dipikirkan orang-orang di dalam angkot melihat mata dan hidung saya memerah...


Free Template Blogger collection template Hot Deals SEO

0 komentar:

Posting Komentar

 
Copyright 2010 Catatan Mahasiswa FK