Pagi
ini rencananya saya hunting sesuatu lagi ke RS Jantung. Ada yang
tertinggal.Tepat sebelum pergi, saya teringat kejadian beberapa hari
yang lalu. Hehe.
Senin, 23 September 2013
Pukul
18:34 WIB, tepat berselang beberapa menit sejak saya mengenang hari ini
dari awal terbit mentari. Bagaimana tidak, saat itu saya punya sangat
banyak waktu untuk melakukannya. Duduk manis sebagai penumpang tunggal
di sebuah angkot membuat pikiran melayang jauh dan hati bergemuruh.
Empat rodanya berguling menelusuri sudut kota yang mulai gelap. Sesekali
manik kembar ini melemparkan pandangan menembus jendela angkot, kali
berikutnya memandang bebas lewat pintunya yang terbuka, dan mungkin
hampir setiap detik posisi tubuh yang sudah mulai kewalahan ini tak
berhenti berubah. Ya, satu hal besar yang tengah menggerogoti ketenangan
saya saat ini.
Apakah dapat pulang dengan selamat?
Sebenarnya
dari awal saya juga bingung mau pulang pakai apa. Ceritanya, dari jam
10 pagi sampai jam 18:20 saya berjuangan nonstop di tengah tumpukan
kertas di RS Khusus Jantung Sumatera Barat. Pasalnya, saya tengah
melakukan penelitian di sana dan mengotak-atik Rekam Medis (RM) pasien
untuk menemukan hal yang saya cari. Alhasil, saya tidak sadar kalau
belum makan dari pagi hingga malam. Cuma beberapa teguk air bening yang
berusaha melegakan dahaga ini. Untung uni yang di RM baik, jadi saya
juga rada betah di sana. Setelah selesai, saya melanjutkan misi pergi ke
laboratorium RS. Wah, alhamdulillah sekali semua orang di situ
menyambut saya dengan baik. Pertanyaan saya mengenai alat ukur glukosa
darah di sana dijawab antusias oleh kakak tersebut. Dan TING TONG! Waktu
menunjukkan pukul 6 sore. Benar-benar tidak ada jeda, apalagi saya
waktu itu lagi halangan, jadinya enggak shalat, akhirnya benar-benar
hanyut dalam tugas. Setelah beranjak dari RS, langit gelap menunggu
saya. Berdiri menunggu bus kota beberapa menit serasa menunggu ber
jam-jam. Akhirnya saya beranikan naik angkot satu-satunya yang lewat
setelah lama menunggu.
Jujur,
saat naik, saya tidak tau jalur angkot ini kemana. Tapi dalam hati,
saya tau bahwa semua angkot di Padang akan bermuara di Pasar Raya, dan
setelah itu saya yakin bisa pulang dengan angkot jati (angkot arah
kosan). Mulai dari melangkahkan kaki naik kendaraan umum tersebut, doa
kepada Sang Penciptapun tak kunjung henti terlontar dari mulut saya yang
semakin lama semakin kelu ini. Entah mengapa, saya merasa waktu ini
merangkak begitu lambat.
Setelah
melewati jalan dengan harap-harap cemas, akhirnya saya sampai di pasar
raya. Melepas lelah sebentar dengan duduk di dekat ibu-ibu yang jual
minuman. Maunya sih enggak beli, tapi ya segan juga duduk tapi enggak
ngapa-ngapain. Akhirnya sebuah pop ice mendarat di tangah saya. Sama
sekali tidak berniat meminumnya di tengah pasar, sehingga saat itu juga
saya amankan minuman tersebut ke dalam kantong dan berencana segera
beranjak.
Namun,
satu langkah berlalu, saya dihadang seorang bapak tua. Perhatian saya
terambil, mata saya tak bergeming memandangi sosok kumalnya. Sebuah
tangah menengadah gemetaran di depan saya. Ya, bapak ini seorang
pengemis. Sebenarnya saya jarang juga mengasihani pengemis, entah karena
saya punya pengalaman buruk tentang hal itu atau apa, tapi kali ini
terasa berbeda. Mata kelelahan yang terpancar dari bapak itu, rambut
yang awut-awutan, sebuah tongkat dekil yang tetap dipegangnya. Ah, saya
seperti tersihir untuk memberikan sesuatu. Saya raup selembar kertas
dari dompet dan memberikan kepada sang bapak. Sengaja saya lipat kertas
tersebut agar tak terlalu tampak mencolok. Namun sang bapak malah
tertegun dan memperhatikan kertas itu sambil membuka lipatan yang saya
buat. Saya lihat samar dari ekspresi wajah beliau, bapak tua itu
'kaget'. Dan secepat itu pula beliau menatap saya seolah bertanya 'apa
benar ini mau dikasih ke saya?'. Saya mengangguk sambil tersenyum.
Lantas bapak itu menangis. Dan untuk beberapa menit dia tak berhenti
berucap syukur pada yang Kuasa dan mendoakan saya. Sempat juga beliau
bercerita bahwa kepalanya barusan terbentur dan dia menanyakan dengan
bahasa yang susah saya mengerti karena sudah tak jelas. Namun saya
menangkap, beliau bertanya apakah kepalanya berdarah atau tidak. Saat
saya lihat, ternyata lembam, baru. Ya Allah, apa yang terjadi dengan
bapak itu. Setelah beliau mengucapkan terima kasih untuk kesekian
kalinya, barulah kakinya beranjak menjauhi saya.
Saya
masih memperhatikan beliau dari jauh. Dan sesosok bayangan langsung
terlintas jelas di pikiran saya, yaitu Uan. Kira-kira Uan saya seumuran
bapak itu. Kaki beliau yang terlihat kaku sebelah juga mengingatkan saya
pada Uan setelah beliau terkena stroke. Ah, tiba-tiba air mata mengalir
membasahi pipi saya saat terfikir 'bagaimana kalau Uan yang mengalami
kejadian seperti ini dan seperti bapak tua itu?'. Dan sekali lagi saya
tidak sanggup membendung perasaan sedih tersebut di tengah pasar. Saya
tidak kuat membayangankan lebih lanjut mengenai apa yang terjadi pada
beliau. Langsung sebuah doa saya kirimkan pada Uan, semoga amal beliau
diterima di sisiNya.
Kesedihan ini merenggut perasaan saya.
Tak peduli apa yang dipikirkan orang-orang di dalam angkot melihat mata dan hidung saya memerah...
Free Template Blogger collection template Hot Deals SEO
0 komentar:
Posting Komentar