Big Brother~Da Deden~Brigadir Murdani, SH. |
Sesadarku mengingatmu, kau tak pernah berubah.
Murdani,
anak pertama yang dilahirkan ibu tepat 28 tahun yang silam. Di Hari
Rabu itu, tangisnya merobek langit dan menggetarkan bumi. Segenap
keluarga menyambut riang kehadiran bayi tak berdosa tersebut di muka
bumi ini dengan hangat. Terutama Uan, adik dari orang tua perempuan ibu.
Tak putus ucapan syukur saat itu menyadari anak yang dilahirkan
berjenis kelamin laki-laki. Harapan tertopang erat pada pundaknya yang
masih suci, kelak bayi itu akan kuat seperti ayah, melindungi, mengayomi
kami saudara-saudara setelahnya. Tertanda, Rabu, 12 Juni 1985.
Usut
punya usut, waktu ibu melahirkan Da Deden-sapaan sayang kami pada
Uda-itu tidak susah. Entah itu hanya sebuah penghiburan oleh perempuan
yang sangat saya sayangi atas kengerian yang saya ungkap kepada beliau
mengenai periode pertaruhan nyawa seorang perempuan tersebut. Lugas,
ibu malah tersenyum kecil dibalik rangkaian katanya. Beliau
mengingat-ingat kembali kecemasan berlebihan yang dirasakannya kala itu.
Bayangkan saja, beliau hamil tanpa kakek dan nenek yang menemani. Jadi,
ibu memutuskan sering kontrol ke bidan. Bahkan lebih sering dari
seharusnya. Hehe. How strong you are, Mom!
Jadi,
dengan bergelar pangeran pertama di silsilah keluarga, rasa sayang yang
diberikan segenap anggota keluarga mungkin sangatlah besar.
Terlebih-lebih Uan. Beliau sangat menyayangi Da Deden. Semua-mua akan
diberikan Uan pada Uda, yakinlah.
Kenangan
pahit yang terpatri kuat adalah ketika untuk kedua kalinya ibu
meneteskan air mata di depan saya. Entah saat itu ibu memeluk saya atau
tidak, tapi yang saya tau saat itu Ibu sangat sedih sekali mengetahui
fakta bahwa Da Deden tinggal kelas. Ah~ unbelievable banget. Bagaimana bisa murid yang biasanya selalu juara kelas tiba-tiba tinggal? Can you imagine that? Fine,
mungkin gegara Uda jarang belajar pada tahun itu dan lebih sering
menonton TV. Jadi, ceritanya di kampung saya tidak bisa menonton TV
tanpa alat penangkap siaran yang saya sebut parabola. Nah saat itu,
Uda-Uda saya sering pulang maghrib dan setelah ditanya alasannya
ternyata beliau berdua menjawab habis menonton TV di rumah tetangga.
Ayah Ibu yang mengetahui hal tersebut lantas turun tangan dan dengan
pemikiran yang matang besoknya dibelilah benda itu untuk rumah kami.
Alhasil, satu kampung malah berbondong-bondong pergi menonton ke rumah
saya. Dapat dibayangkan, rumah saya dijadikan layar tancap dengan TV
yang hanya berukuran 14'. Jangankan untuk belajar, untuk bersantai saja
semua orang di rumah saya sudah tak mendapatkan haknya lagi. Jadi,
asumsi saya bahwa itulah yang membuat Uda tidak konsen belajar. Tapi, HELLOW??
Hingga saat ini saya masih tidak percaya dengan kenyataan bahwa sang
juara kelas bisa tinggal juga. Ckckck. Jadi, untuk saat itu dan
berikutnya, Da Deden dan Da Andi resmi menjadi rekan satu kelas seumur
persekolahannya.
Yang
saya sangat kagumi sekali dari beliau adalah sikap bijaksana, terbuka,
dapat diajak bicara, dan semua-mua sifat baik lainnya. Keren sekali. Hal
tersebut sudah beliau tunjukkan bahkan sejak beliau masih kecil. Saat
itu, saya dan Da Andi sering berantem. Berebut makananlah, berebut
tempatlah, berebut remotelah, berebut mainanlah-waktu itu yang
paling adalah GameBot-, dan berebut semua yang bisa diperebutkan
pokoknya. Hal yang paling teringat di masa itu, saya dan Da Andi sampai
nangis dan teriak-teriak bertengkar satu sama lain. Dan ibu muncul, Oh My God.
Rasanya itu adalah kali pertama dan terakhirnya saya marah sambil
teriak tak karuan. Ibu saya seorang sosok yang mudah sedih hatinya.
Melihat saya dan Da Andi tidak akur saja akan membuat beliau menangis.
Uh Oh, untung Da Deden selalu mengingatkan. Menenangkan kami dengan
bijaksana meski tatapan kami waktu dilerai selalu mengobarkan bara api
yang besar.
Beliau
juga terkenal dengan rapi, bersih, dll. Uan pernah cerita waktu dulu
Uda sering bantu Ibu mengerjakan pekerjaan rumah seperti cuci piring,
menyapu, dan mengepel. Aha~ tentu saja saat saya masih imut-imut. Hehe.
Tanpa berat hati, Uda membantu semuanya sampai Uan menanyai Ibu apakah
beliau yang menyuruh Uda melakukan pekerjaan rumah. Dan dengan terkejut,
Ibupun bertanya balik pada Uan, bukannya Uan yang membereskan semua
selama ini? Nah lo. Ckckck. Benar-benar lelaki yang- ah~ #speechless.
Sampai
beliau bersekolah di SMA, dirinya mencita-citakan ingin menjadi seorang
polisi. Bayangkan saja, saya sampai pusing saat Uda berlari-lari
mengelilingi isi rumah. Mengitari saya untuk kesekian kali yang sudah
tak bisa dihitung menggunakan jari. Katanya untuk persiapan fisik
sebelum tes polisi. Selain itu beliau juga pernah melakukan push-up
dengan menyuruh adik saya duduk di atas punggungnya. Ehe~ baru sadar
sekarang kalo semua itu keren banget. Hehe. Dan semua jerih payahnya
alhamdulillah terbalas. Walau melalui proses yang sangat tidak mudah,
akhirnya beliau lulus masuk polisi dan menjalani pendidikan di Padang,
Sekolah Polisi Negara Padang Besi. Tak tanggung-tanggung, saat upacara
pengangkatannya sekaligus acara kelulusan tersebut, Uda menunjukkan
kepada kami semua bahwa beliau berusaha menjadi yang terbaik dengan
menghadiahkan lulusan terbaik ke-6 dari 3 provinsi (Sumbar, Aceh,
Bengkulu). Ya Allah, beliau memang pantas menerimanya.
Tak cukup rangkaian kata menggambarkannya. You are the best, my bro~
Brigadir Murdani, SH
Anak pertama yang pantas diteladani.
Free Template Blogger collection template Hot Deals SEO
0 komentar:
Posting Komentar